Senin, 02 Januari 2012

MITOS – MITOS MENULIS



A.          Pengertian Mitos
Mitos adalah cerita yang dianggap benar-benar terjadi atau sesuatu yang kita percayai dan telah dianggap sebagai sebuah kebenaran sejak dahulu tapi sebenarnya tidak benar karena tidak bisa dibuktikan secara empiris.
B.           Pengertian Menulis
         Menurut Tarigan (2008:3) menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain dan menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif.
C.          Mitos – Mitos Menulis
Menulis adalah suatu sarana  mengekspresikan perasaan dan  pemikiran kita. Selain itu, menulis juga merupakan media berbagi pengalaman dan berbagi ilmu pengetahuan. Namun banyak muncul berbagai mitos atau pendapat yang keliru tentang menulis sehingga sering menghalangi kita untuk memulai menulis.
Ada banyak mitos yang bisa menghalangi sesorang untuk menulis. Mitos seringkali sangat mempengaruhi pola pikir seseorang. Padahal belum tentu sebuah mitos itu seratus persen benar. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa mitos menulis. Diantaranya, yaitu
1.      Menulis itu Mudah
Ada mitos yang mengatakan bahwa menulis itu mudah namun kenyataannya yang mudah itu adalah teori menulis atau mengarang. Karena menulis bukanlah sekadar teori, melainkan keterampilan. Teori atau pengetahuan menulis hanyalah sekadar alat untuk mempercepat dan mempertinggi pemerolehan kemampuan seseorang dalam mengarang. Karena tanpa dilibatkan langsung dalam kegiatan dan latihan menulis, seseorang tidak akan pernah mampu menulis dengan baik. Ia harus mencoba dan berlatih berulang kali, memilih topik, menentukan tujuan, mengenali pembaca, mencari informasi pendukung, menyusun kerangka karangan, serta menata dan menuangkan ide-idenya secara runtut dan tuntas dalam racikan bahasa yang terpahami.
2.      Menulis itu Harus Sekali Jadi
Mitos tentang menulis harus sekali jadi ini dapat memfrustasikan dan menggagalkan orang yang menulis terutama orang yang baru mulai menulis. Karena bisa membuat tulisannya tidak pernah selesai. Seseorang  menulis, tetapi ketika sudah beberapa alinea dibuatnya, ia banyak menemukan ketidakcocokan atau kekurangan. Ia membuang tulisannya dan mulai menulis kembali. Dibaca lagi, ternyata masih banyak ketidaksesuaian. Lalu mengganti dan menulis lagi. Begitulah seterusnya. Ini akan membuat tulisannya tidak pernah jadi karena ia ingin tulisannya sempurna dalam sekali jadi. Keinginan itu sebenarnya wajar dan bagus tetapi mitos itu malah menjadi bumerang bagi dirinya.
Tidak banyak orang yang dapat menulis sekali jadi. Bahkan, penulis profesional sekali pun. Menulis merupakan sebuah proses. Sebagai proses, menulis melibatkan beberapa tahap sebelum tulisan itu final. Tahap-tahap itu adalah fase prapenulisan, penulisan, serta penyuntingan, perbaikan, dan penyempurnaan.
3.      Orang yang Tidak Menyukai dan Tidak Pernah Menulis Dapat Mengajarkan Menulis
Siapa pun yang mengajar menulis atau mengarang ia harus menyukai dan memiliki pengalaman serta keterampilan mengarang. Karena ia harus dapat menunjukkan  kepada muridnya manfaat dan nikmatnya menulis. Ia pun harus mampu mendemonstrasikan apakah mengarang itu dan bagaimana melakukannya. Seorang guru yang takut dan tidak suka menulis, bagaimana dapat melakukan hal itu. Padahal murid belajar menulis berdasarkan apa yang diajarkan gurunya.
4.      Kemampuan Menggunakan Unsur Mekanik Tulisan merupakan Inti dari Menulis
Di dalam menulis atau mengarang, seseorang memang perlu memiliki keterampilan menggunakan unsur-unsur mekanik seperti penggunaan ejaan, pemilihan kata, pengkalimatan, pengalineaan, dan pewacanaan. Namun, tidak hanya sebatas itu. Di dalam karangan atau tulisan harus terkandung sesuatu atau isi yang akan disampaikan. Isi itu dapat berupa ide, gagasan, perasaan, atau informasi yang akan diungkapan penulis kepada orang lain. Unsur mekanik merupakan alat atau sarana yang digunakan untuk mengemas dan menyajikan isi karangan agar dapat dipahami dengan baik oleh pembacanya.
Baik isi atau unsur mekanik karangan atau tulisan sama pentingnya. Oleh karena itu, ketika mengarang atau belajar mengarang, fokus perhatian tidak boleh hanya ditunjukkan kepada salah satunya saja, tetapi kepada keduanya secara seimbang.
5.      Menulis Membutuhkan Banyak Waktu
Hal ini sangat mengganggu terutama untuk orang yang baru mencoba menulis. Orang yang sangat sibuk tentu akan bingung membagi waktunya untuk menulis. Mitos ini bisa menyebabkan orang enggan menulis, karena membayangkan harus menulis sebegitu tebal, berapa lama waktunya, kapan selesainya. Ada benarnya menulis itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Beberapa penulis membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan tulisannya. Tetapi kita bisa membagi waktu yang sangat lama itu dalam waktu yang singkat tapi bertahap dan kontinu. Kita dapat meluangkan waktu sedikit saja untuk menulis. Dengan waktu yang pendek tapi terus-menerus maka kita akan dapat menyelesaikan tulisan kita dengan baik
6.      Harus Menulis Sesuatu yang Spektakular
Banyak orang enggan menulis karena ada mitos yang beranggapan jika ingin menulis, harus menulis sesuatu yang sensasional, dan tidak boleh yang kacangan. Mungkin ini ada kaitannya dengan gengsi. Pada dasarnya, setiap orang bebas menulis apa saja. Tidak harus menulis sesuatu yang sangat rumit. Jika kita menulis sesuatu yang sederhana pun, tidak menjadi masalah. Bila kita bisa menuliskan dengan baik dan menarik, maka topik yang paling sederhana pun akan menjadi cerita yang menakjubkan.
7.      Menulis Memerlukan Bakat
Beberapa ahli mengungkapakan bahwa untuk menjadi seorang penulis, bakat bukanlah syarat mutlak untuk menjadi seorang penulis. Keterampilan menulis diawali oleh minat, kreativitas, latihan dan penalaran yang tajam akan fenomena sosial yang ada, dan tidak  kalah pentingnya adalah kebiasaan membaca sebagai sumber bacaan. Karena ada keterkaitan yang sangat kuat antara membaca dan menulis. Dengan banyak membaca dapat memperluas wawasan dan memperkaya tulisan. 
8.      Menulis Membutuhkan Kondisi Semacam Kesurupan   
Ada mitos yang menyatakan bahwa untuk dapat menulis dengan baik dibutuhkan kondisi semacam kesurupan. Yakni di mana sang penulis tidak sadar seperti orang yang mengalami kesurupan saat ia mulai menulis. Namun mitos menulis membutuhkan kondisi semacam kesurupan itu tidak benar. Karena menulis merupakan sebuah kemampuan, kemahiran, dan kepiawaian seorang dalam menyampaikan gagasannya ke dalam sebuah tulisan agar dapat diterima oleh pembaca. Seseorang menulis dalam keadaan sadar. Baik apa yang sedang ditulisnya maupun lingkungan (tempat) yang mendukungnya untuk menulis.
Sebenarnya, kondisi yang sedang dialami oleh penulis bukanlah sebuah kondisi di mana penulis tidak sadar atau semacam kesurupan, melainkan terkadang penulis terlalu menghayati dan terbawa dalam tulisannya sehingga terlihat tidak peduli akan lingkungan sekitarnya. Namun perlu ditegaskan bahwa penulis tetap dalam keadaan sadar saat ia menulis.














DAFTAR PUSTAKA


Alhadiah, Sabarti. 2001. Menulis 1. Jakarta: Universitas Terbuka.
Alwasillah, A. Chaedar dan Senny S. Alwasillah. 2005. Pokoknya Menulis.
afdBandung: Kiblat.
Suparno dan M. Yunus. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas
adjTerbuka.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
aghBandung: Angkasa

Tahukah kamu mengapa Bahasa Melayu yang diangkat sebagai bahasa Nasional??


Kita pasti sudah mengetahui, bahwa Bahasa Indonesia yang kini dipergunakan sebagai Bahasa Nasional bangsa Indonesia, berasal dari Bahasa Melayu. Jauh sebelum diangkatnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), sesungguhnya perjuangan untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah diusahakan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Tetapi pernahkah muncul dalam benak kita, mengapa harus Bahasa Melayu yang diangkat sebagai Bahasa Nasional? Mengapa bukan Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda yang jumlah penuturnya lebih banyak dari pada Bahasa Melayu? Dalam rubrik bahasa kali ini, kita akan membahas tentang asal muasal Bahasa Melayu diangkat menjadi Bahasa Nasional Indonesia.
Pada awalnya, menurut Suhendar dan Supinah (Seri Materi Kuliah MKDU:  Bahasa Indonesia (Kebahasaan), 1997) bahwa di daerah-daerah, Bahasa Melayu  bukan bahasa induk pribumi, penyebaran bahasa ini diusahakan terutama oleh para guru Bahasa Melayu. Di berbagai sekolah yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda diberikan mata pelajaran Bahasa Melayu. Pada umumnya guru-guru yang mengajar Bahasa Melayu berasal dari daerah-daerah yang penduduk pribuminya berbahasa Melayu atau berbahasa yang dekat dan atau berhubungan dengan Bahasa Melayu, seperti Sumatera Barat. Mereka tersebar di berbagai tempat di Kepulauan Indonesia. Mereka mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sekolah yang merupakan usaha swasta, seperti sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa, serta sekolah swasta lainnya. Selain para guru, wartawan pun ikut menyebarkan Bahasa Melayu  melalui tulisannya. Sehingga, banyak masyarakat di kepulauan kita yang berkenalan dengan Bahasa Melayu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bahasa Melayu diangkat sebagai Bahasa Nasional. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa kebudayaan, yaitu sebagai bahasa yang digunakan dalam buku-buku yang dapat digolongkan sebagai hasil sastra. Selain itu, Bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa resmi dalam masing-masing kerajaan nusantara yaitu sekitar abad ke-14. Bahkan harus diingat, bahwa penyebaran Bahasa Melayu bukan hanya terbatas pada daerah sekitar selat Malaka atau Sumatera saja, tetapi jauh lebih luas dari itu. Ini dapat dibuktikan dengan terdapatnya berbagai naskah cerita yang ditulis dalam Bahasa Melayu, pada pelbagai tempat yang jauh dari Malaka. Dengan datangnya orang-orang Eropa ke Indonesia, fungsi Bahasa Melayu sebagai bahasa perantara dalam perdagangan semakin intensif. Orang-orang Eropa bahkan tidak sadar telah ikut memperluas penyebaran Bahasa Melayu. Jadi, sejak lama, dari masa kejayaan Sriwijaya hingga Malaka—yang saat itu merupakan pusat perdagangan, pusat agama, dan ilmu pengetahuan— Bahasa Melayu telah digunakan sebagai Lingua Franca atau bahasa perhubungan di pelbagai wilayah Nusantara. Dengan bantuan para pedagang dan penyebar agama, Bahasa Melayu menyebar ke seluruh pantai di nusantara, terutama di kota-kota pelabuhan. Akhirnya, bahasa ini lebih dikenal oleh penduduk Nusantara dibandingkan dengan bahasa daerah lainnya. Selain itu, telah ditemukan beberapa bukti tertulis mengenai Bahasa Melayu tua pada pelbagai prasasti dan inksripsi. Bukti-bukti berupa prasasti antara lain: prasasti Kedukan Bukit (tahun 683 M), di Talang Tuwo (dekat Palembang, bertahun 684 M), di Kota Kapur (Bangka Barat, tahun 686 M), di Karang Brahi (antara Jambi dan Sungai Musi, berahun 688 M), sedangkan dalam bentuk inskripsi diantaranya, Gandasuli di daerah Kedu, Jawa Tengah, bertahun 832 M. Adanya berbagai dialek Bahasa Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara adalah merupakan bukti lain dari pertumbuhan dan persebaran Bahasa Melayu. Misalnya, dialek Melayu Minangkabau, Palembang, Jakarta (Betawi), Larantuka, Kupang, Ambon, Manado, dan sebagainya. Hasil kesusastraan Melayu Lama dalam bentuk cerita penglipur lara, hikayat, dongeng, pantun, syair, mantra, dan sebagainya juga merupakan bukti dari pertumbuhan dan persebaran Bahasa Melayu. Diantara karya sastra lama yang terkenal adalah Sejarah Melayu karya Tun Muhammad Sri Lanang gelar Bendahara Paduka Raja yang diperkirakan selesai ditulis pada tahun 1616. Selain itu juga ada Hikayat Hang Tuah, Hikayat Sri Rama, Tajus Salatin, dan sebagainya. Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa ketika orang-orang Barat sampai ke Indonesia, yaitu sekitar abad XIV, mereka menemukan bahwa Bahasa Melayu telah dipergunakan sebagai bahasa resmi dalam pergaulan dan perdagangan. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan tentang seorang Portugis, Pigafetta, setelah mengunjungi Tidore, ia menyusun daftar kata Melayu-Italia, sekitar tahun 1522. Ini membuktikan ketersebaran Bahasa Melayu yang sebelum itu sudah sampai ke kepulauan Maluku. Begitupun dalam pendudukan Belanda, mereka menemukan kesulitan ketika bermaksud menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Akhirnya, sebagaimana sudah diuraikan pada bagian awal, Belanda menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putra diberikan dalam Bahasa Melayu atau bahasa daerah lainnya. Hal itu tertuang dalam keputusan pemerintah kolonial yaitu K.B 1871 nomor 104 (Keraf, Tatabahasa Indonesia, 1978).

Kedua, sistem aturan Bahasa Melayu, baik kosa kata, tata bahasa, atau cara berbahasa, mempunyai sistem yang lebih praktis dan sederhana sehingga lebih mudah dipelajari. Sementara itu, Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda mempunyai sistem bahasa yang lebih rumit. Dalam kedua bahasa itu dikenal aturan tingkat bahasa yang cukup ketat. Ada tingkat bahasa halus, sedang, kasar, bahkan sangat kasar, dengan kosa kata dan struktur yang berlainan.

Ketiga, kebutuhan yang sangat mendesak yang dirasakan oleh para pemimpin dan tokoh pergerakan akan adanya bahasa pemersatu yang dapat mengatasi perbedaan bahasa dari masyarakat Nusantara yang memiliki sejumlah bahasa daerah. Bahasa itu harus sudah dikenal khalayak dan tidak terlalu sulit dipelajari. Kriteria ini terpenuhi oleh Bahasa Melayu sehingga akhirnya bahasa inilah yang dipilih dan ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia atau Bahasa Nasional.
Tetapi apakah Bahasa Indonesia yang kita pergunakan sekarang ini sama dengan Bahasa Melayu pada masa yang lalu? Bahasa Indonesia yang kita pergunakan sekarang ini tidak sama lagi dengan Bahasa Melayu pada masa Kerajaan Sriwijaya, masa Kerajaan Malaka, masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, masa Balai Pustaka, bahkan dengan Bahasa Melayu di Malaysia kini.   Bahasa Indonesia kini jauh berbeda dari bahasa asalnya, Bahasa Melayu. Bahasa Melayu tumbuh dan berkembang menjadi Bahasa Indonesia, yang dikarenakan berbagai hal waktu, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi ia pun berkembang hingga dalam wujudnya kini.
Meskipun Bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat, namun perjuangan belum berakhir. Masih banyak anggota masyarakat yang belum menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, masih banyak yang harus kita usahakan, dan masih banyak pula yang harus kita perjuangkan dalam rangka pengembangan Bahasa Indonesia.