Kita pasti sudah
mengetahui, bahwa Bahasa Indonesia yang kini dipergunakan sebagai Bahasa
Nasional bangsa Indonesia, berasal dari Bahasa Melayu. Jauh sebelum diangkatnya
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928),
sesungguhnya perjuangan untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan telah diusahakan oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Tetapi pernahkah
muncul dalam benak kita, mengapa harus Bahasa Melayu yang diangkat sebagai
Bahasa Nasional? Mengapa bukan Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda yang jumlah
penuturnya lebih banyak dari pada Bahasa Melayu? Dalam rubrik bahasa kali ini,
kita akan membahas tentang asal muasal Bahasa Melayu diangkat menjadi Bahasa
Nasional Indonesia.
Pada awalnya,
menurut Suhendar dan Supinah (Seri Materi Kuliah MKDU: Bahasa
Indonesia (Kebahasaan), 1997) bahwa di daerah-daerah,
Bahasa Melayu bukan bahasa induk
pribumi, penyebaran bahasa ini diusahakan terutama oleh para guru Bahasa
Melayu. Di berbagai sekolah yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda diberikan
mata pelajaran Bahasa Melayu. Pada umumnya guru-guru yang mengajar Bahasa Melayu berasal dari
daerah-daerah yang penduduk pribuminya berbahasa Melayu atau berbahasa yang
dekat dan atau berhubungan dengan Bahasa Melayu, seperti Sumatera Barat. Mereka
tersebar di berbagai tempat di Kepulauan Indonesia. Mereka mengajar di sekolah-sekolah
yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sekolah yang merupakan usaha
swasta, seperti sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa, serta sekolah swasta
lainnya. Selain para guru, wartawan pun ikut menyebarkan Bahasa Melayu melalui tulisannya. Sehingga, banyak
masyarakat di kepulauan kita yang berkenalan dengan Bahasa Melayu. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan Bahasa Melayu diangkat sebagai Bahasa Nasional.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama,
Bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa kebudayaan, yaitu sebagai bahasa
yang digunakan dalam buku-buku yang dapat digolongkan sebagai hasil sastra.
Selain itu, Bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa resmi dalam
masing-masing kerajaan nusantara yaitu sekitar abad ke-14. Bahkan harus
diingat, bahwa penyebaran Bahasa Melayu bukan hanya terbatas pada daerah sekitar selat
Malaka atau Sumatera saja, tetapi jauh lebih luas dari itu. Ini dapat
dibuktikan dengan terdapatnya berbagai naskah cerita yang ditulis dalam Bahasa
Melayu, pada pelbagai tempat yang jauh dari Malaka. Dengan datangnya
orang-orang Eropa ke Indonesia, fungsi Bahasa Melayu sebagai bahasa perantara
dalam perdagangan semakin intensif. Orang-orang Eropa bahkan tidak sadar telah
ikut memperluas penyebaran Bahasa Melayu. Jadi, sejak lama, dari masa kejayaan
Sriwijaya hingga Malaka—yang
saat itu merupakan pusat perdagangan, pusat agama, dan ilmu pengetahuan— Bahasa
Melayu telah digunakan sebagai Lingua Franca atau bahasa perhubungan di
pelbagai wilayah Nusantara. Dengan bantuan para pedagang dan penyebar agama,
Bahasa Melayu menyebar ke seluruh pantai di nusantara, terutama di kota-kota
pelabuhan. Akhirnya, bahasa ini lebih dikenal oleh penduduk Nusantara
dibandingkan dengan bahasa daerah lainnya. Selain itu, telah ditemukan beberapa
bukti tertulis mengenai Bahasa Melayu tua pada pelbagai prasasti dan inksripsi.
Bukti-bukti berupa prasasti antara lain: prasasti Kedukan Bukit (tahun 683 M),
di Talang Tuwo (dekat Palembang, bertahun 684 M), di Kota Kapur (Bangka Barat,
tahun 686 M), di Karang Brahi (antara Jambi dan
Sungai Musi, berahun 688 M), sedangkan dalam bentuk inskripsi diantaranya, Gandasuli di
daerah Kedu, Jawa Tengah, bertahun 832 M. Adanya berbagai dialek Bahasa Melayu
yang tersebar di seluruh Nusantara adalah merupakan bukti lain dari pertumbuhan
dan persebaran Bahasa Melayu. Misalnya, dialek Melayu Minangkabau, Palembang,
Jakarta (Betawi), Larantuka, Kupang, Ambon, Manado, dan sebagainya. Hasil
kesusastraan Melayu Lama dalam bentuk cerita penglipur lara, hikayat, dongeng,
pantun, syair, mantra, dan sebagainya juga merupakan bukti dari pertumbuhan dan
persebaran Bahasa Melayu. Diantara karya sastra lama yang terkenal adalah Sejarah
Melayu karya Tun Muhammad Sri Lanang gelar Bendahara Paduka Raja yang
diperkirakan selesai ditulis pada tahun 1616. Selain itu juga ada Hikayat Hang
Tuah, Hikayat Sri Rama, Tajus Salatin, dan sebagainya. Seperti telah dikatakan
sebelumnya bahwa ketika orang-orang Barat sampai ke Indonesia, yaitu sekitar
abad XIV, mereka menemukan bahwa Bahasa Melayu telah dipergunakan sebagai
bahasa resmi dalam pergaulan dan perdagangan. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan
tentang seorang Portugis, Pigafetta, setelah mengunjungi Tidore, ia menyusun
daftar kata Melayu-Italia, sekitar tahun 1522. Ini membuktikan ketersebaran
Bahasa Melayu yang sebelum itu sudah sampai ke kepulauan Maluku. Begitupun dalam
pendudukan Belanda, mereka menemukan kesulitan ketika bermaksud menggunakan
Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Akhirnya, sebagaimana sudah diuraikan
pada bagian awal, Belanda menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi
putra diberikan dalam Bahasa Melayu atau bahasa daerah lainnya. Hal itu
tertuang dalam keputusan pemerintah kolonial yaitu K.B 1871 nomor 104 (Keraf, Tatabahasa Indonesia, 1978).
Kedua, sistem aturan
Bahasa Melayu, baik kosa kata, tata bahasa, atau cara berbahasa, mempunyai
sistem yang lebih praktis dan sederhana sehingga lebih mudah dipelajari.
Sementara itu, Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda mempunyai sistem bahasa yang lebih
rumit. Dalam kedua bahasa itu dikenal aturan tingkat bahasa yang cukup ketat.
Ada tingkat bahasa halus, sedang, kasar, bahkan sangat kasar, dengan kosa kata
dan struktur yang berlainan.
Ketiga, kebutuhan yang
sangat mendesak yang dirasakan oleh para pemimpin dan tokoh pergerakan akan
adanya bahasa pemersatu yang dapat mengatasi perbedaan bahasa dari masyarakat
Nusantara yang memiliki sejumlah bahasa daerah. Bahasa itu harus sudah dikenal
khalayak dan tidak terlalu sulit dipelajari. Kriteria ini terpenuhi oleh Bahasa
Melayu sehingga akhirnya
bahasa inilah yang dipilih dan ditetapkan sebagai Bahasa Indonesia atau Bahasa
Nasional.
Tetapi apakah
Bahasa Indonesia yang kita pergunakan sekarang ini sama dengan Bahasa Melayu
pada masa yang lalu? Bahasa Indonesia yang kita pergunakan sekarang ini tidak
sama lagi dengan Bahasa Melayu pada masa Kerajaan Sriwijaya, masa Kerajaan
Malaka, masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, masa Balai Pustaka, bahkan dengan
Bahasa Melayu di Malaysia kini. Bahasa Indonesia
kini jauh berbeda dari bahasa asalnya, Bahasa Melayu. Bahasa Melayu tumbuh dan
berkembang menjadi Bahasa Indonesia, yang dikarenakan berbagai hal waktu,
politik, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi ia pun berkembang hingga dalam
wujudnya kini.
Meskipun Bahasa
Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat, namun perjuangan belum
berakhir. Masih banyak anggota masyarakat yang belum menguasai Bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, masih banyak yang harus kita usahakan, dan masih banyak
pula yang harus kita perjuangkan dalam rangka pengembangan Bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar